Banyak yang mengatakan bila Indonesia adalah raksasa yang
sedang tidur (The Sleeping Giant). Meski begitu, jangan pernah mengusiknya jika
tidak ingin “dimakan”. Walaupun tetangga dekat, Australia lagi-lagi mengganggu
Indonesia.
Padahal, empat tahun lalu, Negeri Kanguru itu tercoreng
namanya setelah terungkap melakukan aksi penyadapan yang dilakukan Badan
Intelijen Australia (Australian Signal Directorate/ASD).
Kala itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung
bereaksi keras dan tegas, yakni menghentikan sejumlah kerjasama yang selama ini
sudah terjalin. Pertama, Indonesia menghentikan kerjasama pertukaran informasi
dan pertukaran intelijen.
Kedua, Indonesia menghentikan kerja sama latihan militer
tiga matra dengan Australia. Ketiga, Indonesia menghentikan kerja sama terkait
masalah penyelundupan manusia (people smuggling). Kasus tersebut seperti tidak
membuat Australia kapok “menyenggol” Indonesia.
Perjalanan
berliku
Bukan baru kemarin Indonesia dengan Australia menjalin
kerja sama pertahanan. Sejarah membuktikan, kedua negara sudah menjalin
hubungan di bidang itu selama 70 tahun.
Hubungan itu dimulai pada 1947. Kala itu, pengamat militer
Australia datang ke Indonesia sebagai utusan PBB untuk mengawasi gencatan
senjata antara pasukan Indonesia dan Belanda.
Sampai saat ini, kerjasama militer kedua negara masih
terjalin. Latihan militer, kerjasama pertahanan dan forum dialog kedua negara
sering digelar.
Kerjasama dalam bentuk operasi bersama juga sering
dilakukan. Di bidang pendidikan militer, pertukaran pelajar baru, logistik,
juga dijalin kedua negara.
Salah satu kerjasama forum dialog adalah forum
Indonesia-Australia. Forum dialog yang terbentuk pada 2001 ini awalnya bernama
Pertemuan Informal Indonesia-Australia.
Tapi pada pertemuan ke-2 di Yogyakarta, kedua delegasi
sepakat untuk memberi nama Indonesia-Australia Defence Strategic Dialogue
(IADSD). Forum digelar secara bergantian, di Indonesia dan Australia.
Selain itu ada perjanjian bilateral antara
Indonesia-Australia yang dirumuskan dalam Traktat Lombok 2008. Perjanjian ini
meliputi 10 bidang, antara lain kerjasama bidang pertahanan dan keamanan,
penegakan hukum, anti-terorisme, dan keamanan maritim.
Perjanjian ini menegaskan prinsip-prinsip saling
menghormati dan mendukung kedaulatan, integritas teritorial, kesatuan bangsa
dan kemerdekaan politik setiap pihak, serta tidak campur tangan urusan dalam
negeri masing-masing.
Berdasarkan data berikut rekam jejak Australia yang kerap
“mengganggu” Indonesia:
Pembebasan
Irian Barat
Pada 1959-1962, pemerintah Australia berpihak kepada
pemerintah Belanda selama perjuangan Indonesia menentang pemerintahan Belanda
di Irian Barat.
Pada saat itu Partai Komunis Indonesia mulai berpengaruh
dan ada kekhawatiran di Australia mengenai pengaruh itu. Dikhawatirkan bahwa
integrasi daerah jajahan Belanda yang dulu disebut Nugini Barat itu dengan
Indonesia akan memperluas pengaruh komunisme.
Masalah tersebut di atas menimbulkan ketegangan terhadap
hubungan antara Australia dan Indonesia. Akhirnya dirundingkanlah penyelesaian
pada 1962, dengan bantuan PBB, dan Irian Jaya menjadi provinsi Indonesia yang
ke-26.
Sejak 1962, Australia telah mengakui Irian Jaya (yang sejak
awal 2002 disebut Papua) sebagai bagian integrasi dari Republik Indonesia.
Konfrontasi
Malaysia
Periode 1963-65 terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan
Malaysia. Australia dan Indonesia mempunyai pandangan yang berlainan mengenai
pembentukan negara Malaysia. Daerah bekas jajahan Inggris ini meliputi Malaya,
Sarawak, Sabah, dan Singapura. Namun, pada 1965, Singapura pisah dari Malaysia.
Sebagai sebuah Negara Persemakmuran, Malaysia mempunyai
kaitan yang penting dalam hubungan militer dan pendidikan dengan Australia.
Angkatan Bersenjata Australia sebelumnya telah membantu tentara Malaysia dan
Inggris dalam perjuangannya melawan gerilya komunis yang aktif di Malaysia.
Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno waktu itu
menyebut Malaysia sebagai rezim ciptaan neo-kolonialis dan menganggapnya
ancaman bagi Indonesia. Australia waktu itu terus mendukung Malaysia dan
semakin mengkhawatirkan perkembangan komunisme di Indonesia.
Australia juga mengkhawatirkan adanya pendekatan
konfrontasi yang digunakan Indonesia untuk menghadapi Malaysia. Akhirnya
tentara Australia, yang mendukung Pemerintah Malaysia, terlibat dalam
pertempuran dengan tentara Indonesia di Borneo (sekarang Kalimantan).
Masalah tersebut di atas terpecahkan setelah diangkatnya
Soeharto sebagai Presiden menggantikan Soekarno pada 1966. Satu tahun
berikutnya, Australia memberikan dana bantuan untuk membantu membangun kembali
ekonomi Indonesia.
Integrasi
Timor Timur
Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur dengan
Indonesia pada 1975-1976 telah ikut memegang peranan dalam hubungan
Australia-Indonesia. Sesudah Portugis meninggalkan bekas daerah jajahannya,
terjadi perselisihan di antara berbagai kelompok politik di Timor Timur.
Angkatan Bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada
Desember 1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia satu tahun
berikutnya. Hal ini menyebabkan perdebatan di Australia.
Di samping itu, kematian lima wartawan Australia di Timor
Timur telah menjadi perhatian masyarakat Australia dan media massa. Australia
mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur secara de jure (atas nama hukum)
tiga tahun kemudian.
Kemerdekaan
Timor Timur
Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah
secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan Presiden Soeharto. Pada Januari
1999, diumumkan bahwa Indonesia akan menawarkan otonomi khusus kepada Timor
Timur.
Jika rakyat Timor Timur menolak tawaran ini, maka Indonesia
akan menerima pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia. Tepat 5 Mei
1999, PBB, Indonesia dan Portugis menandatangani Perjanjian Tripartit yang
menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak pendapat di Timor Timur.
Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi
bagian dari Indonesia atau menjadi negara merdeka. Pada 30 Agustus 1999, rakyat
Timor Timur memilih merdeka (78,5%).
Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi
tanggapan internasional terhadap krisis kemanusiaan yang membayang nyata.
Jakarta menyetujui keterlibatan pasukan keamanan internasional pemelihara
keamanan.
Australia diminta oleh PBB untuk memimpin angkatan
tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan internasional di Timor Timur atau
International Force in East Timor (INTERFET). Pada 20 Oktober 1999, Majelis
Permusyawaratan Rakyat mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan
Indonesia.
Peristiwa-peristiwa ini telah menimbulkan ketegangan dalam
hubungan Australia-Indonesia dalam jangka pendek tersebut. Namun, kedua negara
telah sepakat untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan.
Pencari
Suaka Papua
Pada 2006, sebanyak 43 warga Papua meminta suaka politik ke
Australia. Kala itu, pemerintah Australia memberikan visa perlindungan
sementara (temporary protection visa) kepada 42 dari 43 warga Papua.
Hal ini membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono marah dan
menarik Duta Besar Indonesia untuk Australia, Hamzah Thayeb, ke Jakarta.
Pemerintah Indonesia menyatakan tidak bisa menerima
keputusan Australia yang telah memberikan visa tinggal sementara kepada 42
warga Papua dan menganggap Canberra menerapkan standar ganda dalam kasus
pemberian visa tinggal sementara.
Ketegangan berakhir saat Presiden SBY dan Perdana Menteri
Australia John Howard bertemu dan sepakat untuk menormalisasi hubungan
bilateral dan saling menghormati kedaulatan dan integritas wilayah.
Insiden Gubernur DKI Sutiyoso
Satu tahun setelah kasus pencari suaka Papua, tepatnya 29
Mei, Polisi Negara Bagian New South Wales tiba-tiba menggeledah kamar hotel
tempat menginap Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso.
Ia diminta paksa oleh kepolisian setempat untuk menghadiri
sidang terkait dengan kasus terbunuhnya lima wartawan asing di Balibo, Timor
Timur, pada 1975.
Dua polisi federal, yaitu Sersan Steve Thomas dan Detektif
Senior Constable Scrzvens, menerobos masuk ke kamar hotel tempatnya menginap di
Hotel Shangri-La, Sydney. Atas insiden itu, Sutiyoso menuntut pemerintah
Australia memberikan klarifikasi dan meminta maaf atas pelecehan dan sikap
tidak terpuji yang dilakukan Polisi Federal Australia.
Apalagi, ia berada di Australia sebagai pejabat negara
resmi atas undangan resmi. Dua hari kemudian, Duta Besar Australia untuk
Indonesia, Bill Farmer, melayangkan surat permintaan maaf dari Perdana Menteri
Negara Bagian New South Wales (NSW), Morris Iemma.
Penyadapan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Pada 20 November 2013, Presiden SBY mengambil langkah tegas
atas aksi penyadapan yang dilakukan Badan Intelijen Australia, yakni dengan
menghentikan sejumlah kerjasama yang selama ini sudah terjalin.
Ia juga menyampaikan surat protes ke Perdana Menteri Tony
Abbott. Berdasarkan hukum yang berlaku pada kedua negara, kegiatan penyadapan
tidak diperbolehkan.
Selain menabrak hak-hak asasi manusia, aksi spionase tentu
juga berkaitan dengan moral dan etika sebagai sahabat, tetangga dan rekan
kerja.
Yang terbaru, tepatnya 29 Desember 2016, seorang perwira
Komando Pasukan Khusus TNI AD menjadi instruktur Bahasa Indonesia di Akademi
Pasukan Khusus (SAS) Australia di Perth, menemukan materi yang dianggap
menghina Indonesia.
Pelecehan ideologi bangsa Indonesia itu ditemukan ketika
sang perwira bertugas memberikan pelatihan. "Pada saat mengajar di sana,
ditemukan hal tidak etis sebagai negara sahabat yang mendiskresikan TNI dan
bangsa Indonesia, bahkan ideologi bangsa Indonesia," kata Panglima TNI
Jenderal Gatot Nurmantyo, di Jakarta, Kamis, 5 Januari 2017.
Ia pun merincikan bentuk pelecehan yang dilakukan
Australia, seperti dalam kurikulum dan sistem pelajarannya.
"Tentang-tentara yang dahulu, Timor Timur (Timor Leste) dan Irian Jaya
(Papua), juga harus merdeka dan tentang Pancasila yang dipelesetkan menjadi
Pancagila. Tidak benar," ungkapnya menegaskan.
Menteri Pertahanan Australia, Marise Payne, langsung
meminta maaf dan telah memeriksa masalah serius yang disampaikan dan akan
menyelidiki permasalahan tersebut. Ia mengakui bahwa Indonesia juga telah
menyampaikan penangguhan kerjasama dengan Australia.
"Indonesia telah menyampaikan penangguhan kerjasama
pertahanan kepada Australia. Sebagai akibatnya, beberapa interaksi antara dua
lembaga pertahanan akan ditunda sampai masalah ini diselesaikan. Namun kerja
sama di bidang lain masih terus berlanjut," kaya Payne, melalui pernyataan
tertulis di situs Kementerian Pertahanan Australia.
Masalah
prinsip
Selain Menhan Australia, Gatot membenarkan adanya
permintaan maaf dari Panglima Angkatan Bersenjata Australia kepada Indonesia
terkait insiden pelecehan ideologi Indonesia. Pangab Australia, Marsekal Mark
Donald Binskin, telah mengirimkan surat permintaan maafnya.
"Saya dengan Marsekal Binskin bersahabat. Akhirnya,
dia mengirim surat kepada saya untuk meminta maaf. Kedua, akan memperbaiki
kurikulum. Ketiga, akan melaksanakan investigasi," terangnya.
Melalui surat itu pula, Australia segera mengirim kepala
staf angkatan untuk menemuinya dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal
Mulyono. Sayangnya, Gatot tidak menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan
perwira tinggi militer Australia itu.
Menurut Gatot, kurikulum yang melecehkan ideologi bangsa
Indonesia itu telah lama diajarkan di Australia. Sehingga Indonesia menunggu,
sampai kapan investigasi itu dilakukan. "Dari pernyataan Mark tersebut,
dia menyatakan akan menghentikan kurikulum itu, dan akan melaksanakan tim
investigasi," kata Gatot.
Presiden Joko Widodo pun mengambil sikap. "Saya sudah
menerima laporan dari Panglima TNI dan dari Menteri Pertahanan (Ryamizard
Ryacudu). Masalah ini biar di-clear-kan dulu. Ini masalah prinsip," kata
Jokowi.
Tak hanya itu, ia juga mengingatkan bahwa kedua negara
telah sepakat untuk saling menghormati, saling menghargai dan tidak campur
tangan atas urusan dalam negeri masing-masing.
"Saya kira kita sepakat itu. Saya kira hubungan kita
dengan Australia masih dalam kondisi yang baik-baik saja. Hanya mungkin di
tingkat operasional ini masih perlu disampaikan agar situasinya tidak panas.
Saat ini, masalah itu sudah saya perintahkan untuk ditangani oleh Menhan dan
Panglima TNI," ungkap dia.
Ditanya soal mekanisme penghentian kerjasama militer kedua
negara, apakah cukup melalui Panglima TNI atau harus melalui Presiden, Jokowi
menjawab secara diplomatis.
"Sudah disampaikan ke saya. Sudah disampaikan ke saya,
artinya kan sudah disampaikan ke saya," kata Jokowi.
Untuk itu, pemerintah Indonesia mengharapkan sekali lagi
penjelasan dan sikap resmi Australia atas penyadapan tersebut.
Admin : HR/http://www.viva.co.id/
Sumber : fanspage Teknologi dan Strategi Militer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar