Di
kalangan masyarakat umum, bahkan termasuk warga Tionghoa sendiri, nama John Lie
kurang dikenal. Orang tentu lebih kenal Laksamana Cheng Hoo, panglima armada
Tiongkok sekaligus penyebar agama Islam di berbagai belahan dunia. Namun, di
kalangan pelaut, TNI Angkatan Laut, Laksamana John Lie tank asing lagi. Bahkan,
sebelum ditetapkan sebagai pahlawan nasional pun, John Lie sudah dianggap
sebagai salah satu role model bagi pelaut-pelaut muda tanah air.
Nama
John Lie, yang juga dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma, mulai banyak
dibicarakan setelah adanya iklim keterbukaan pada era 2000-an. Ketika tahun
baru Imlek dijadikan hari libur nasional, agama Khonghucu diakui (kembali),
maka sejumlah aktivis Tionghoa mengusulkan agar John Lie dijadikan pahlawan
nasional. Seminar-seminar pun digelar, buku tentang John Lie diterbitkan, dan
media-media Tionghoa banyak memuat profil John Lie.
"Adanya
pahlawan nasional dari etnis Tionghoa justru sangat penting bagi masyarakat
Indonesia keseluruhan yang bisa melihat bahwa etnis Tionghoa itu sama dengan
etnis lain, yakni sama-sama berjuang untuk kemerdekaan bangsa," ujar Dr
Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Aswi termasuk cendekiawan yang banyak bicara di seminar dan menulis artikel-artikel
tentang sosok John Lie.
John
Lie lahir di Manado, Sulawesi Utara, 9 Maret 1911, dan meninggal di Jakarta
pada 27 Agustus 1998. Almarhum menerima Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden
Soeharto pada 10 Nopember 1995. Karena itu, John Lie dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Kebijakan
politik Orde Baru yang tidak kondusif bagi warga Tionghoa membuat nama John Lie
tenggelam. Jangankan mengusulkan putra pasangan suami-istri Lie Kae Tae dan Oei
Tjeng Nie Nio itu sebagai pahlawan nasional. Membicarakan jasa-jasa John Lie
dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia saja tidak banyak
dilakukan.
Awalnya,
John Lie bekerja sebagai mualim kapal niaga milik Belanda, kemudian bergabung
dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), sebelum diterima di Angkatan
Laut RI. Semula dia bertugas di Cilacap dengan pangkat kapten. Di pelabuhan ini
John berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi Sekutu.
Atas jasanya, John dinaikkan pangkatnya menjadi mayor.
Sejak
itu John Lie memperlihatkan kemampuannya sebagai pelaut dan patriot sejati.
Pada awal kemerdekaan, 1947, John ditugaskan mengamankan pelayaran kapal-kapal
yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri.
Di
antaranya, mengawal kapal pengangkut karet 800 ton untuk diserahkan kepada
Utoyo Ramelan, kepala perwakilan RI di Singapura. Karet atau hasil bumi lain
dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata-senjata itu
diserahkan kepada pejabat di Sumatera seperti bupati Riau sebagai sarana
perjuangan melawan Belanda.
Ingat,
meski sudah merdeka pada 17 Agustus 1945, pasukan Belanda yang didukung Sekutu
masih bercokol di Indonesia. Setelah Jepang kalah, Belanda ingin kembali
menjajah Indonesia.
Nah,
perjuangan John Lie dan kawan-kawan di kapal tidak ringan mengingat kapal-kapal
AL Belanda rajin patroli. Belum lagi harus menghadapi gelombang samudra yang
besar untuk ukuran kapal mereka yang belum secanggih saat ini.
Dalam
operasi ini, John Lie mengemudikan kapal kecil cepat bernama The Outlaw.
Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling
sedikit John Lie melakukan 15 kali operasi 'penyelundupan'. Ketika membawa 18
drum minyak kelapa sawit, John sempat ditangkap perwira Inggris.
Di
pengadilan Singapura, John dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum.
Saat membawa senjata semiotomatis dari Johor (Malaysia) ke Sumatera, kapal John
dihadang pesawat patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas.
Dua
penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap, mengarahkan
senjata ke The Outlaw. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah
tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan The Outlaw tanpa insiden.
Jiwa
patriotisme, cinta tanah air, membela negara, tak hanya diperlihatkan Laksamana
Muda John Lie lewat kata-kata, tapi perbuatan. Sejak bergabung dengan TNI
Angkatan Laut pada awal kemerdekaan, sebagian besar hidup John Lie dibaktikan
kepada negara dan bangsanya di lautan.
Karena
itu, John Lie yang dilahirkan di Manado, 9 Maret 1911, ini tidak suka dengan
istilah 'pribumi' dan 'nonpribumi' yang dinilai hanya menyudutkan orang
Tionghoa di Indonesia. Istilah 'nonpribumi' ada era Orde Baru selalu merujuk pada
orang Tionghoa. Dan konotasinya selalu jelek. Nah, John Lie ini punya pandangan
sendiri tentang pribumi dan nonpribumi.
"Siapakah
orang pribumi dan nonpribumi itu? Orang pribumi adalah orang-orang yang
jelas-jelas membela kepentingan negara dan bangsa. Sedangkan nonpribumi adalah
adalah mereka yang suka korupsi, suka pungli, suka memeras dan melakukan
subversi. Mereka itu sama juga menusuk kita dari belakang," kata John Lie
seperti dikutip Mayor (P) Salim, komandan KRI Untung Suropati,dalam sebuah artikelnya.
Menurut
John, orang yang tidak mementingkan atau membela nasib bangsa Indonesia--apa
pun latar belakang suku, ras, etnis, agama--adalah pengkhianat-pengkhianat
bangsa. "Jadi, soal pribumi dan nonpribumi bukannya dilihat dari suku
bangsa dan keturunan, melainkan dari sudut pandang kepentingan siapa yang
mereka bela," tegasnya.
Laksamana
Muda John Lie, menurut Mayor (P) Salim, terlibat aktif dalam sejumlah operasi
penumpasan pemberontakan di dalam negeri seperti Republik Maluku Selatan (RMS),
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan PRRI/Permesta. Aksi separatis
ini sangat mengganggu keutuhan Republik Indonesia yang usianya masih sangat
hijau.
Pada
1 Mei 1950 Menteri Panglima AL Raden Soebijakto memerintahkan kapal perang AL
untuk melaksanakan blokade di perairan Ambon. John Lie menjadi komandan
kapal–kapal korvet RI Rajawali. Kemudian KRI Pati Unus dikomandani Kapten S
Gino, KRI Hang Tuah dipimpin Mayor Simanjuntak. Pendaratan di Pulau Buru
dilaksanakan pada 13 Juli 1950.
TNI
AL mengerahkan kekuatan eskader-eskader di bawah komando Mayor Pelaut John Lie,
dilanjutkan dengan pendaratan di Pulau Seram dan Pulau Piru. Melalui tiga titik
pendaratan ini, yang dibantu kekuatan gabungan TNI, pasukan RMS pun terdesak.
Pada 15 November 1950, operasi pembersihan RMS di Ambon dan sekitarnya selesai.
Pemberontakan
DI/TII kali pertama muncul di Jawa Barat pada 1949 di bawah pimpinan
Kartosuwiryo. Namun, pengaruh DI meluas hingga ke Aceh pada 1950 dipimpin oleh
Teuku Daud Beureuh dan di Sulawesi Selatan pada 1953 di bawah pimpinan Abdul
Qahhar Mudzakkar. Untuk menumpas pemberontakan tersebut, Presiden Soekarno
memerintahkan operasi militer dan operasi pemulihan keamanan yang melibatkan
seluruh elemen pertahanan, termasuk TNI AL.
Nah,
kapal TNI AL menggelar operasi patroli pantai dipimpin oleh Mayor (P) John Lie.
Pada
1958 pemerintah juga menggelar operasi untuk menumpas Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Semesta (Permesta) di
Sulawesi. Operasi gabungan TNI ini dikomandani Kolonel Ahmad Yani, dengan wakil
komandan Letkol (P) John Lie dan Letkol (U) Wiriadinata.
Dalam
operasi ini TNI AL membentuk Amphibious Task Force-17 (ATF-17) yang dipimpin
Letkol (P) John Lie, dan melibatkan KRI Gajah Mada, KRI Banteng, KRI Pati Unus,
KRI Cepu, KRI Sawega, dan KRI Baumasepe, serta satu batalyon KKO (Marinir).
Kapal-kapal melakukan bombardemen sekitar kota Padang dan kemudian mengadakan
operasi pendaratan pasukan KKO.
Setelah
operasi Permesta 1958-1959, John Lie dikirim ke India selama setahun untuk
tugas belajar di Defence Service Staff College, Wellington. Pada 1960, John Lie
diangkat menjadi anggota DPR Gotong Royong dari unsur TNI AL.
Kemudian,
pada 1960–1966 John Lie menjabat kepala inspektur pengangkatan kerangka kapal
di seluruh Indonesia. Sebelumnya, pada 5 Oktober 1961 Presiden Soekarno
menganugerahkan tanda jasa kepahlawanan kepadanya.
======
Oleh
LAMBERTUS HUREK
Note
: Tulisan ini kami sadur dari Tulisan Bp. LAMBERTUS HUREK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar