Minggu, 12 Maret 2017

Syeikh YUSUF, Pejuang Asal MAKASSAR yang Diangkat Jadi Pahlawan di Afrika Selatan!

“Saya melangkah masuk dan tertegun melihat makam berpagar besi ukir, bertutup kain hijau. Di sini berkubur pada usia 73, seorang ilmuwan, sufi, pengarang, dan komandan pertempuran abad ke-17, sesudah 16 tahun menjalani pembuangan. Kampung halamannya terletak di seberang dua samudra, berjarak 12 ribu kilometer jauhnya. Saya tertunduk dan menggumamkan Al Fatihah untuk pejuang besar ini. Beliaulah Syekh Yusuf al-Makassari al-Bantani”

Demikianlah kata-kata indah Taufiq Ismail terukir indah di buku bertajuk Syekh Yusuf, seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang yang ditulis oleh Abu Hamid. Ia mengguratkan catatan usai mengunjungi sebuah bukit di kawasan Faure, Desa Macassar, Afrika Selatan, di musim gugur Bulan April 1993

Nama lengkapnya Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.

Kendati putra Nusantara, namanya justru berkibar di Afrika Selatan. Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara di benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan, bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’. Syekh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, tanggal 03 Juli 1626 dengan nama Muhammad Yusuf. Nama itu merupakan pemberian Sultan Alauddin, raja Gowa, yang merupakan karib keluarga Gallarang Monconglo’E, keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja. Ia belajar mengaji pertama kali kepada Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan, dilanjutkan dengan pendalaman bahasa Arab, ilmu fikih, dan tasawuf. Ia juga berguru pada syekh terkenal di Makassar saat itu, Sayyid Ba-lawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Jalaludin Al-Aydit. Ketika berusia 18 tahun, ia berangkat ke Banten, sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh. Di sana ia bersahabat dengan putra mahkota Kerajaan Banten, Pengeran Surya. Di Aceh ia berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri, sampai mendapat ijazah Tariqat Qodiriyah. 

Dari Aceh ia berangkat ke Yaman dan berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi sampai mendapat ijazah Tareqat Naqsabandiyah. Ijazah tarekat Assa’adah Al Ba’laiyah juga diperolehnya dari Sayyid Ali Al-Zahli. Ia juga melanglang ke se-antero Jazirah Arab untuk belajar agama. Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah, diperolehnya saat berguru kepada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi dari Syam (Damaskus).

Terlibat pergerakan nasional

Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, ia pulang ke kampung halamannya, Gowa. Tapi ia sangat kecewa karena saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Di bawah Belanda, maksiat merajalela. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, ia kembali merantau. Tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa. Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Bahkan ia kemudian dinikahkan dengan anak Sultan, Siti Syarifah. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara. Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji beserta Kompeni di pihak lain. 

Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar.Namun karena kekuatan yang tak sebanding, tahun 1682 Banten menyerah. Maka mualilah babak baru kehidupan Syekh Yusuf; hidup dalam pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini ia memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam. Dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, kebanyakan berasal dari India Selatan. Ia juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi’an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf. Ia juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada murid-muridnya melalui jalur ini. Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru; lokasi pembuangannya diperjauh, ke Afrika Selatan.

Menekuni jalan dakwah  di Afrika selatan
Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini kemudian disebut Madagaskar). Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran Islam di Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru (mister teacher). Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut. Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagi bertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun. Ia tinggal di Tanjung Harapan sampai wafat tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun.

sumber : santri.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar