Minggu, 12 Maret 2017

Sang "IZRAIL" Iwan Murtado, Eks Tentara Elit yang Jadi Pembunuh Bayaran Paling Ditakuti!

Membuka lembaran kelamnya terasa sulit. Pengalamannya sebagai pembunuh bayaran sebagian sudah terkikis usia. Iwan Cepi Murtado, 71 tahun, berkaus hijau kusam dengan tulisan Yon Serna Trikora di bagian dada dulunya tentara elite pada 1960-an.

Rumahnya di tengah gang sempit di Utan Panjang, Kemayoran, Jakarta Pusat. Dia menjadi tentara setelah lulus dari Sekolah Keterampilan Negeri (SKN) di daerah Kampung Jawa. "Waktu itu ada penerimaan 20 ribu tentara di Jakarta. Saya iseng-iseng coba ternyata masuk," kata Iwan kepada merdeka.com di kediamannya Jumat pekan lalu.

Iwan tergabung dalam pasukan Raider dan digembleng di wilayah Sukoharjo, Jawa Tengah, selama enam bulan. Kembali ke ibu kota, pria sekarang bercucu tiga ini bertugas menumpas gerakan komunis di sekitar Malang, Jawa Timur. "Karena jiwa nakal saya tak pernah hilang, usai kembali bertugas saya tak pernah lapor pada kesatuan, lebih milih turun kembali ke jalanan," ujar lelaki berkumis dan berambut uban ini.

Memasuki 1970-an, Iwan mulai menapaki dunia kejahatan. Latar belakang sebagai bekas prajurit sangat berpengaruh dengan pekerjaan melenyapkan nyawa manusia. Mental membunuh sudah ditempa sejak dia memburu gerakan separatis komunis. Dia sudah tak bisa mengingat puluhan pemberontak diburu hingga tewas.

Iwan hanya sumringah sambil menundukkan kepala. "Tapi itu (pengalaman saya sebagai prajurit) jelas membantu saya secara teknis, bagaimana membaca situasi, strategi, dan eksekusi korban-korban saya," tuturnya.

Pesanan pertamanya adalah membunuh seorang pengusaha. Tugas itu dia peroleh lewat perantara. Selama sepekan dia membaca gerak-gerik target dari kediaman sampai kantor korban di daerah Fatmawati, Jakarta Selatan. "Tak lama, masih berada di dalam mobil, usai pulang kantor saya menikam korban pada bagian dada. Lalu saya tinggal pergi," katanya mengingat.

Iwan biasanya melakoni tugasnya bersama satu orang. Desertir ini bertugas mengeksekusi dan rekannya menjadi joki kendaraan. Uniknya, sang asisten dipastikan selalu berganti saban kali membunuh. "Waktu target itu, saya diboncengin motor langsung kabur. Sempat dikejar sama beberapa orang tapi berhasil lolos," ujarnya.

Untuk upah pertamanya, bapak tiga anak ini mendapatkan Rp 5 juta sekali tugas. Waktu itu jumlahnya tergolong besar, namun perantara ikut memotong bayaran membunuh. "Biasalah itu, terima bersih Rp 3 juta. Saya bagi ke teman, paling bawa Rp 2 juta," katanya. Dia membandingkan pada tahun 1970-an harga satu mobil taksi Rp 400 ribu.

Dari total tujuh korban, Iwan mampu melenyapkan target tanpa jejak. Dia mengaku lihai menggunakan berbagai senjata untuk menghabisi target pemesannya. Mulai dari senjata api, tajam hingga hanya memakai seutas tali. Pengalaman sebagai eks tentara baret hijau membantu dalam perjalanannya sebagai pembunuh bayaran.

Jika berbicara tentang pendekar, tokoh yang paling identik dengan julukan tersebut mungkin adalah Si Pitung. Meski hingga saat ini, tidak diketahui apakah Si Pitung benar-benar ada ataukah hanya tokoh fiksi, namun dialah pendekar yang ceritanya paling lekat di hati masyarakat.

Di dunia nyata, sebetulnya terdapat sosok yang mirip sekali dengan Si Pitung, yaitu Murtado si Macan Kemayoran. Ia memiliki kemampuan silat yang tiada tandingannya, dipercaya sebagai mandor pada masa Belanda, namun mengkhianati mereka dengan mencuri persediaan pangan Belanda dan memberikannya pada kaum Pribumi. Sudah semacam Robinhood versi Indonesia saja, ya.

Si Macan Kemayoran memiliki keturunan yang tidak kalah hebatnya, yaitu Iwan Cepi Murtado. Iwan memang tidak memiliki kemampuan silat, tapi ia sangat cermat, cerdas, dan bengis. Ia bisa melakukan apa yang ia inginkan secara rapi dan tidak diketahui siapa-siapa. Berbeda dengan ayahnya, ia menggunakan kemampuan tersebut untuk perbuatan jahat.

Si Pembunuh Bayaran

Saat masih anak-anak, Iwan sudah pernah dijebloskan ke penjara karena membunuh. Ini tidak membuatnya jera. Di tahun 1970-an, Iwan kembali melakukan perbuatan tak bermoral tersebut. Ia mendapat pesanan dari orang-orang kaya untuk membunuh saingan bisnis mereka.

Sebelum hari pembunuhan, Iwan melakukan perencanaan terlebih dahulu. Ia menguntit calon korbannya selama tujuh hari tujuh malam tanpa tidur. Dibacanya gerak-gerik korban dan perilakunya dari rumah hingga kantor. Pada hari H iya langsung menikam korban dan melenyapkan jasadnya.
Untuk eksekusi, Iwan dibantu oleh seorang kawan yang disebut dengan pilot. Tugas pilot adalah menyetir mobil yang digunakan untuk membawa jenazah korban ke tempat pembuangan. Pilot adalah orang kepercayaan Iwan yang mahir dalam membawa kendaraan.

Sang Jutawan

Sekali membunuh, Iwan bisa mendapatkan upah 5 juta Rupiah. Di tahun 70-an, jumlah itu sangatlah banyak. Bahkan lebih banyak dari harga sebuah mobil. Jumlah yang menggiurkan itu membuat Iwan tidak ragu-ragu dalam menerima pesanan. Sebelum masuk penjara, ia telah menghabisi nyawa tujuh orang.

Pembunuhan terakhir yang ia lakukan adalah pesanan dari orang Sekretariat Negara di tahun 1980-an. Korban adalah istri muda pejabat yang dibunuh dengan tali tambang. Upah dari pembunuhan ini mencapai Rp 100 juta! Meski begitu, tindakannya ini membuat Iwan harus mendekam di penjara selama satu dekade. Ia sedang sial karena mayat yang buangnya tersangkut sehingga cepat ditemukan oleh warga dan segera diusut kasusnya.

Latar Belakang Militer

Sebelum berprofesi sebagai pembunuh bayaran, pria yang terlahir dengan nama Muhammad Ikhwan ini bekerja sebagai tentara yang ditugaskan di Malang, Jawa Timur. Ia mengaku gaji tentara sangatlah kecil sehingga memutuskan untuk kabur saja.


Pengalamannya di militer membuat Iwan pandai mengatur strategi, memata-matai, dan mengeksekusi korban. Memang pada saat ia masih menjadi prajurit, ia sering ditugaskan untuk membunuh antek komunis. Kemampuannya dalam mengincar dan membunuh sangatlah tajam. Ia juga tidak memiliki rasa belas kasihan karena terlalu sering menghabisi nyawa orang.

Kehidupan Iwan berubah sejak ia memiliki keluarga. Hatinya menjadi luluh berkat anak perempuannya, Ade Naziha. Ia tidak lagi mau membunuh orang. Meski banyak yang memintanya untuk kembali melakukan tindakan kriminal, Iwan menolak dan memilih untuk memiliki pekerjaan halal. Ia pun turut mendirikan Lembaga Macan Kemayoran yang fokus pada kegiatan sosial.

sumber : merdeka.com dan boombastis.com

silahkan di share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar