Minggu, 30 Oktober 2016

Dosen Malaysia Mengklaim Natuna Masuk Wilayahnya. Ternyata Ini Alasannya,

Sebuah artikel yang ditulis oleh dosen Universitas Sains Islam Malaysia di media  Malaysia www. mStar.com.my menuliskan bahwa Kepulauan Natuna seharusnya milik Malaysia. Artikel yang ditulis oleh Mohd Hazmi Mohd. Rusli, Ph.D dan Wan Izatul Asma Wan Talaat ,Ph. D tersebut mengemukakan pertanyaan: “kenapakah kepulauan Natuna yang terletak di tengah-tengah Malaysia, bukan milik Malaysia?

Dalam artikel tersebut mereka menyebutkan beberapa hal alasan mengapa seharusnya Kepulauan Natuna milik Malaysia. Alasan tersebut sebagai berikut:

1. Secara geografis kepulauan Natuna terletak ditengah-tengah yang memisahkan Semenanjung Malaysia dan Sabah serta Serawak Malaysia
2. Bahasa masyarakat Natuna adalah bahasa melayu dialek Terengganu Malaysia
3 Natuna awalnya adalah dibawah pemerintahan Kerajaan Pattani dan Kerajaan Melayu Johor Malaysia pada tahun 1597
4. Perjanjian Inggris-Belanda pada tahun 1824 tidak menempatkan Kepulauan Natuna dibawah kekuasaan Inggris ataupun Belanda,namun dibawah kekuasaan Kerajaan melayu Johor, Malaysia yang sejatinya dibawah pengaruh Inggris
5. Kesultanan Johor merdeka dari Ingrris pada tahun 1957 dan bergabung menjadi wilayah persekutuan Malaysia

Atas dasar diatas mereka akhirnya menyimpulkan sesuai dengan konsep “utti possideti juris” maka Kepulauan Natuna yang merupakan wilayah kerajaan Johor seharusnya menjadi bagian dari Malaysia. Dengan kata lain karena Kepulauan Natuna tidak pernah menjadi daerah jajahan Belanda, maka seharusnya Kepualauan Natuna bukan bagian dari Indonesia menurut konsep tersebut.

Indonesia memasukkan Kepulauan Natuna menjadi wilayahnya secara resmi pada tahun 1956 setahun sebelum Malaysia memperoleh kemerdekaannya. Karena konfrontasi Indonesia-Malaysia pada tahun 1962- 1966 pemerintah Malaysia tercurah perhatiannya untuk menyelesaikan konflik tersebut, sehingga keberadaan Kepulauan Natuna yang diklaim Indonesia terluput dari perhatian.

Diprediksi untuk mempercepat berakhirnya konflik, pemerintah Malaysia kala itu menahan diri untuk tidak mempersoalkan keberadaan Kepulauan Natuna agar bisa berdamai dengan negara jiran serumpun Indonesia. Hingga kini 56 tahun berlalu Malaysia tidak pernah mempersoalkan keberadaan kepulauan tersebut, sehingga sesuai dengan konsep Undang-undang antar bangsa yang mensahkan sebuah wilayah adalah menjadi wilayah negara tertentu dengan tidak ada dibantah oleh negara-negara lain,  maka Indonesia beruntung memiliki Kepulauan Natuna walau dalam sejarahnya seharusnya menjadi milik Malaysia.

Tulisan dua orang dosen malaysia itu menurut penulis harus kita waspadai. Tulisan itu jelas suatu provokasi halus agar Kepulauan Natuna memisahkan diri dari Indonesia dan bergabung dengan Malaysia. Apalagi saat ini gencar-gencarnya Natuna meminta menjadi provinsi sendiri. Tidak mungkin kelak karena “hasutan” malaysia Natuna memisahkan diri dari Indonesia.


Malaysia belakangan ini memang terlihat menganggap enteng Indonesia sejak berhasilnya mereka memiliki Sipadan dan Ligitan yang seharusnya milik Indonesia. Apa jadinya kalau mereka secara ekonomi dan meliter lebih maju dari kita nantinya, bisa jadi mereka akan mengintervensi Kepulauan Natuna nantinya seperti bagaimana Rusia mengintervensi Crimea dan “merebutnya” dari Ukraina.

Walau kecil kemungkinan tersebut terjadi, tapi kemungkinan bisa terjadi pun ada jika Pemerintah Indonesia mengabaikan kesejahteraan Masyarakat Natuna padahal kekayaan alam natuna dari gas dan minyak buminya menyumbang devisa terbesar untuk Indonesia. Jika pemerintah Indonesia abai terhadap pertahanan dan keamanaan di Natuna, maka bisa saja negara luar akan  gampang mendikte kita, seperti baru-baru ini sebagian wilayah natuna dimasukkan China di peta wilayahnya atau seperti Malaysia yang terus melakukan manuver di pulau Anambat.

Saat ini yang sangat dibutuhkan masyarakat Natuna adalah bagaimana mereka bisa melepaskan diri dari keterisoliran dari wilayah lain di Indonesia.  Di kepualauan Natuna harus banyak di bangun bandara, dengan memperbanyak penerbangan murah yang disubsisi pemerintah ke natuna. Saat ini penerbangan ke Natuna sangat sedikit dan harganya mahal berkisar diangka Satu jutaan rupiah. Begitu juga transportasi lautnya yang sangat terbatas bahkan perlu berhari-hari ditengah laut untuk kesana.

Kemudian persoalan pendidikan, sosial budaya,   di Natuna harus menjadi prioritas Utama, saat ini “penyakit masyarakat”mulai dari pesatnya pertumbuhan penderita HIV/AIDS di Natuna, seks bebas di kalangan remaja sehingga di Natuna terkenal istilah 3J (Three Jie) yaitu istilah untuk remaja tanggung (cabe-cabean) yang menjual keperawaanannya dan lain sebagainya adalah buah dari tidaknya jalannya penanaman karakter pendidikan disana.

Pemerintah daerah dan pusat harus mengambil perhatian penuh dengan persoalan ini. Kalau tidak maka generasi muda natuna akan tersinggirkan dan akan gampang terprovokasi dan tentu kedepan kemungkinan “lepas” dari Indonesia bisa saja terjadi!




Artikel Asli:
Kepulauan Natuna: ‘Bergeografikan Malaysia’ Berdaulatkan Indonesia


KEPULAUAN Natuna adalah gugusan kepulauan yang berselerakan di tengah-tengah Laut China Selatan yang memisahkan Semenanjung Malaysia dan Sabah serta Sarawak. Ia terletak lebih kurang 450km di utara pulau Singapura. Pulau terbesar di dalam gugusan kepulauan Natuna adalah Pulau Serindit atau nama lainnya, Pulau Bunguran.

Nama antarabangsa yang diiktiraf bagi Pulau Bunguran ialah ‘Natuna’. Walaupun dikatakan terpencil, Kepulauan Natuna terletak di kawasan laluan utama perdagangan antara Asia Timur dan Asia Barat.


Berpusatkan kota Ranai sebagai ibu negerinya, Kepulauan Natuna terdiri daripada 272 buah pulau yang terletak di barat laut Pulau Borneo. Mungkin terdapat sebahagian daripada kita yang bertanya; kenapakah kepulauan Natuna yang terletak di tengah-tengah Malaysia, bukan milik Malaysia?


Penduduk

Sehingga tahun 2010, dianggarkan penduduk di Kabupaten (Regency) Natuna adalah sebanyak 69,003 orang, yang terdiri daripada 35,741 orang lelaki dan 33,262 perempuan. Lebih kurang 85% penduduk di sana 85.27% adalah berketurunan Melayu dan selainnya adalah berketurunan Jawa, Sumatera dan Cina.

Bahasa pertuturan utama adalah Bahasa Melayu dielek negeri Terengganu dan Islam adalah agama utama penduduk di Kabupaten Natuna.


Sejarah

Sejarah Kepulauan Natuna tidak dapat dipisahkan daripada pengaruh negeri-negeri di Tanah Melayu. Pemerintahan di Natuna dikatakan bermula pada tahun 1597 yang didirikan hasil gabungan penghijrahan kaum bangsawan Patani dan Johor. Pada sekitar kurun ke-16 iaitu selepas kejatuhan Kesultanan Melayu Melaka ke tangan Portugis, kerajaan Patani dan Johor muncul sebagai kuasa baru di rantau Tanah Melayu.

Kuasa dan pengaruh kesultanan Patani dikatakan lebih tertumpu di kawasan utara merangkumi negeri-negeri Terengganu, Kelantan, Menara (Narathiwat) dan Jala (Yala) sebelum dijajah Siam pada kurun ke-18. Manakala Kesultanan Johor pula menguasai kawasan selatan yang terdiri daripada negeri Pahang, sebahagian pantai timur Sumatera dan kepulauan Riau.


Susur galur pemerintahan Patani di Natuna bermula apabila salah seorang puteri berketurunan pemerintah asal Natuna bernama Puteri Wan Seri Bulan yang telah berkahwin dengan Datuk Bendahara Lingkai al-Fathani, seorang kerabat diRaja Patani. Zuriat dari pasangan ini telah menjadi Datuk Kaya yang memegang teraju pemerintahan Natuna.


Selain dari itu, antara pemerintah yang terkenal ialah Wan Muhammad al-Fathani yang berketurunan Orang Kaya Aling.


Baginda, yang juga digelar Orang Kaya Perdana Mahkota telah berhubung dengan pihak Inggeris pada tahun 1848 apabila Penguasa Tentera Inggeris bagi negeri-negeri Selat di Tanah Melayu, Leftenan Kolonel Butterworth menghadiahkan sebuah meriam tembaga atas jasa baginda memberikan bantuan kepada sebuah kapal milik pihak Inggeris yang pecah di sekitar pulau Natuna pada 25 Januari 1848.


Sorotan sejarah pemerintahan dan kependudukan awal bangsa Melayu di Natuna ini jelas menunjukkan bahawa kepulauan tersebut mempunyai hubungan yang lebih erat dengan dengan negeri-negeri di Tanah Melayu berbanding dengan kerajaan-kerajaan dari kepulauan Indonesia ataupun pihak penjajah Belanda yang berpusat di Batavia (Jakarta).


Pemerintahan Penjajah Barat Di Nusantara

Kepulauan Melayu (Nusantara) adalah gugusan kepulauan yang terbesar di dunia dan Pulau Natuna terletak di kawasan ini. Sejak zaman kerajaan Srivijaya lagi, iaitu bermula dari kurun ke-7 Masihi, kerajaan-kerajaan Melayu sangat aktif dalam bidang perdagangan dan kota-kota Melayu menjadi pusat pelabuhan yang penting, seperti Palembang, Melaka, Kotaraja (Aceh), Patani dan Brunei.

Namun, kegemilangan kerajaan-kerajaan Melayu dan kekayaan sumber-sumber alam kepulauan Melayu ini telah mengundang minat penjajah Barat untuk datang menguasai rantau ini.. Kerajaan Melaka adalah kerajaan yang pertama jatuh ke tangan penguasa Portugis pada tahun 1511.


Melaka kemudiannya dikuasai oleh Belanda pada tahun 1641 sementara Bengkulu, yang terletak di Pulau Sumatera, dikuasai Inggeris pada tahun 1685.


Perlumbaan dalam mengembangkan kuasa dan pengaruh British dan Belanda di Kepulauan Melayu telah menimbulkan rasa tidak puas hati antara kedua-dua kuasa penjajah tersebut.


Bagi menamatkan bibit-bibit konflik dan mengekalkan hubungan baik British-Belanda, Perjanjian Inggeris-Belanda pada 17 Mac 1824 (Perjanjian 1824) telah dimetarai. Perjanjian ini telah membahagikan ‘Dunia Melayu’ di mana kedua kuasa tersebut secara sewenang-wenangnya melakarkan ‘peta kekuasaan’ masing-masing.


Artikel 10 Perjanjian ini berbunyi ‘Kota Melaka diserahkan kepada Raja Inggeris, manakala Raja Belanda dan rakyatnya tidak akan menubuhkan sebarang penempatan di Singapura dan Semenanjung Melaka (Semenanjung Melayu)’. Artikel 9 Perjanjian 1824 mengiktiraf pengaruh Belanda di Pulau Sumatera dan pulau-pulau di selatan pulau Singapura.


Dengan termeterainya perjanjian ini, pihak British tidak akan membuka penempatan di pulau-pulau di selatan Singapura dan Belanda juga tidak akan membuka penempatan di Semenanjung Melayu.


Perjanjian 1824 ini telah menjarah sempadan di kepulauan Melayu dan kesannya kekal sehingga ke hari ini.


Kesan Perjanjian 1824 ke Atas Kepulauan Natuna

Secara umum, boleh dikatakan bahawa Perjanjian 1824 tidak meletakkan kepulauan Natuna dengan jelas sama ada di bawah pengaruh Inggeris atau Belanda.

Akan tetapi, Perjanjian 1824 ada mengatakan yang Belanda tidak akan menubuhkan penempatan di utara pulau Singapura dan Semenanjung Melayu yang diiktiraf sebagai wilayah British.


Wilayah Belanda adalah di pulau Sumatera dan pulau-pulau di selatan pulau Singapura. Dari sudut geografi, Kepulauan Natuna bukanlah gugusan kepulauan yang terletak di selatan pulau Singapura.


Kepulauan Natuna Sebagai Wilayah di Dalam Indonesia

Kepulauan Natuna telah dimasukkan sebagai salah sebuah wilayah di dalam Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Delegasi Republik Indonesia, Provinsi Sumatera Tengah bertarikh 18 Mei 1956.

Kabupaten Natuna kemudiannya telah ditubuhkan di dalam Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan Undang-undang No. 53 Tahun 1999 yang telah dikuatkuasakan pada 12 Oktober 1999.


Namun, jika dilihat pada peta Asia Tenggara, jelas menunjukkan bahawa Kepuluan Natuna secara semulajadinya terletak sejajar dengan lokasi negeri Terengganu, sekiranya garis lurus dilukis dari pesisir negeri berkenaan ke arah timur.


Sempadan Indonesia jelas melengkung ke atas dan bukanlah dalam satu garisan yang lurus.


Kepulauan Natuna menjadi salah satu aset utama dalam menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia.


Dalam melukis garis kepulauan bagi membentuk perairan kepulauan, satu garis melengkung telah dilukis dari Pulau Bintan ke arah utara menyambung Kepulauan Anambas dan seterusnya Kepulauan Natuna sebelum garis ini melengkung ke bawah untuk bersambung dengan provinsi Kalimantan Barat.


Berdasarkan sumber sejarah, adalah munasabah untuk mengatakan Kepulauan Natuna tidak banyak mempunyai perkaitan dengan negara Indonesia. Kepulauan Natuna berbeza dengan tanah jajahan Belanda yang lain di Indonesia seperti Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Nusa Tenggara, Makassar dan Papua.


Wilayah-wilayah ini yang menjadi milik Indonesia yang mewarisinya daripada bekas penjajahnya, Belanda apabila Indonesia mencapai kemerdekaan pada tahun 1945. Konsep yang wujud di dalam undang-undang antarabangsa ini dipanggil utti possideti juris.


Semasa Perjanjian 1824 dibuat, kepulauan Natuna masih lagi di bawah pengaruh kesultanan Melayu menerusi pemerintahan Baginda Wan Muhammad al-Fathani. Juga, Perjanjian 1824 tidak secara jelas meletakkan kepulauan Natuna di bawah pengaruh Belanda.


Malah, sekiranya Perjanjian 1824 diteliti, Belanda tidak berhak membuka penempatan di mana-mana kawasan di utara pulau Singapura yang jelas berada di dalam kawasan pengaruh British.


Secara logiknya, memandangkan kepulauan Natuna masih berada di dalam wilayah lingkup kerajaan Johor saat Perjanjian 1824 ditandantangani, ianya patut berada di bawah pengaruh British, yang menjadi penaung bagi kesultanan Johor pada ketika itu.


Oleh itu, mungkin timbul hujah yang mengatakan kepulauan Natuna sepatutnya berada bersama Malaysia apabila kesultanan Johor merdeka di dalam Persekutuan Malaya pada tahun 1957 menerusi konsep utti possideti juris.


Tuntutan ke Atas Kepulauan Natuna

Indonesia secara rasmi memasukkan kepulauan Natuna sebagai wilayahnya pada tahun 1956, setahun sebelum Tanah Melayu (Malaysia) mencapai kemerdekaan dan 6 tahun sebelum berlakunya Konfrontasi Malaysia dengan Indonesia.

Tanah Melayu pada ketika itu masih lagi diperintah British dan belum lagi menjadi sebuah negara berdaulat bagi menuntut ketuanan ke atas kepulauan Natuna. Walaupun Tanah Melayu mencapai kemerdekaan pada tahun 1957 dan menjadi Malaysia pada tahun 1963, Konfrontasi Malaysia-Indonesia yang berlaku pada tahun 1962-1966 berkemungkinan telah mengalih pandangan pemerintah Malaysia pada ketika itu yang lebih menumpukan untuk menamatkan konflik dengan Indonesia.


Manakala Indonesia pula memerlukan kepulauan Natuna supaya garis kepulauan dapat dilukis menghubungkan pulau-pulau di dalam Indonesia bagi mencipta sebuah lingkungan laut kepulauan bagi memenuhi hasratnya menjadi sebuah negara kepulauan (Archipelagic State) berdasarkan undang-undang laut antarabangsa.


Makanya, besar kemungkinan, atas dasar ingin menamatkan konfrantasi dan berbaik-baik dengan jiran serumpun, isu tuntutan kedaulatan ke atas kepulauan Natuna mungkin tidak menjadi keutamaan pemerintah Malaysia pada ketika itu. Sehingga kini, Malaysia mengiktiraf kedudukan kepulauan Natuna sebagai sebuah wilayah dalam negara kepulauan republik Indonesia.


Di bawah konsep undang-undang antarabangsa, sesebuah wilayah itu boleh diperolehi oleh sesebuah kerajaan atau kuasa pemerintah melalui empat cara iaitu perluasan wilayah melalui cara semulajadi (accretion), penyerahan wilayah (cession), penjajahan, dan effective occupation ataupun prescription.


Prescription merujuk kepada tindakan sebuah negara yang mezahirkan kedaulatan dengan cara mengamalkan penguasaan ke atas wilayah tertentu tanpa dibantah oleh negara-negara lain.


Berdasarkan fakta ini, boleh dikatakan bahawa Indonesia telah menguasai Pulau Natuna selama 56 tahun tanpa bantahan dari Malaysia sejak tahun 1956.


Oleh yang demikian, adalah sukar untuk ketika ini bagi Malaysia menuntut hak kedaulatan ke atas kepulauan Natuna walaupun berdasarkan fakta geografi dan sejarah, kepulauan Natuna memang mempunyai pertalian yang kuat dengan negeri-negeri di Semenanjung Melayu.


Kesimpulan

Fakta-fakta sejarah jelas menunjukkan kepulauan Natuna mempunyai perkaitan yang lebih jelas dan kukuh dengan negeri-negeri Tanah Melayu berbanding kerajaan-kerajaan awal di kepulauan Indonesia.

Akan tetapi, tiada tuntutan konsisten pernah dilakukan oleh Malaysia dan kependudukan Indonesia di kepulauan Natuna tidak pernah dibantah oleh Malaysia.


Kedaulatan Indonesia ke atasnya telah mencipta ruang lingkup wilayah Indonesia yang membelah Malaysia kepada dua bahagian. Sehingga kini, kepulauan Natuna kekal sebagai sebuah wilayah Indonesia walaupun yang secara geografinya, kedudukan kepulauan tersebut lebih sejajar dengan kedudukan Malaysia. – www. mStar.com.my


Artikel ini disumbangkan Oleh MOHD HAZMI MOHD RUSLI (Ph. D) pensyarah kanan di Universiti Sains Islam Malaysia dan seorang Felo Bersekutu di Institut Oseanografi dan Sekitaran, Universiti Malaysia Terengganu. MOHD AFANDI SALLEH (Ph.D) seorang pensyarah kanan Universiti Sultan Zainal Abidin dan seorang Felo Bersekutu di Institut Oseanografi dan Sekitaran, Universiti Malaysia Terengganu dan WAN IZATUL ASMA WAN TALAAT (Ph. D), seorang profesor madya di Institut Oseanografi dan Sekitaran, Universiti Malaysia Terengganu.

Mantap.! Beginilah Seleksi Sangat Ketat Penembak Jitu TNI

Panglima Komando Cadangan Strategis Letnan Jenderal Mulyono mengaku bangga dengan prestasi prajuri TNI Angkatan Darat yang berhasil menjadi juara pertama lomba menembak di Australia. Bahkan kemenangan tim Indonesia bisa dikatakan mutlak karena berhasil merebut 30 medali emas dari 50 medali emas yang diperebutkan dalam Australian Army Skill at Arms Meeting (AASAM).

Menurut Mulyono, bukan perkara mudah memilih 14 prajurit terbaik untuk dikirim ke Australia dua pekan lalu. "Proses seleksinya sangat lama dan ketat," kata Mulyono kepada wartawan di Markas Besar TNI AD, Jakarta, Jumat, 29 Mei 2015.

Mulanya beberapa bulan lalu, seluruh kesatuan di TNI AD mengirimkan perwakilan penembak jitu. Mereka berasal dari Kostrad, Komando Pasukan Khusus, hingga masing-masing Komando Daerah Militer. 

Setelah seleksi, terpilihlah 80 tentara jago tembak. Seleksi lebih ketat lagi pun dilakukan hingga menghasilkan 14 penembak terbaik dari berbagai kategori, seperti penembak pistol, senapan serbu, sampai senapan runduk atau sniper. Seleksi tersebut digelar di Komando Divisi Infateri 1/ Kostrad di Cilodong, Depok, Jawa Barat. 

Selain teknik menembak, tes kesehatan dan psikologi menjadi materi seleksi. Tujuannya, Mulyono ingin 14 penembak andalan TNI AD kuat secara fisik dan mental. Sebagai contoh, tim pelatih akan mencari penembak yang tak punya rasa minder dan malu. Sebab rasa peraya diri sangat dibutuhkan untuk menghadapi pertandingan penting bertaraf internasional. 

"Jadi kalau jago tembak tapi gampang demam panggung buat apa. Aspek seperti ini sangat kami pikirkan," kata Mulyono.

Walhasil terpilihlah 14 penembak kontingen TNI AD. Mereka terdiri dari sembilan prajurit Kostrad, empat prajurit Kopassus, dan seorang prajurit dari Kodam Mulawarman. Mereka menjalani latihan keras selama tiga bulan di markas Cilodong.

Salah satunya adalah Sersan Dua Misran yang sukses mengantongi tujuh medali emas dan satu medali perunggu. Misran yang bertugas di Infanteri Lintas Udara Kostrad itu mengaku digembleng tanpa kenal libur. "Hari libur pun kami tetap latihan," kata Misran kepada wartawan di Mabes TNI AD.

Panglima Kostrad Letjen Mulyono membenarkan pengakuan Misran. Menurut Mulyono sejak pagi hingga sore, 14 prajurit pilihan itu tak henti-hentinya memuntahkan timah panas dari senjata mereka. Istirahat hanya diberikan pelatih untuk makan siang jam 14.00 WIB dan waktu ibadah shalat. 

"Pokoknya mereka nembak terus sampai mukanya jelek," kata Mulyono sambil tersenyum.

Jenderal bintang tiga itu juga mengatakan bahwa masing-masing penembak sudah dijatah menghabiskan sekian peluru. Namun sayang Mulyono tak hapal berapa jumlah jatah peluru untuk satu hari latihan. "Latihan berat mereka tak sia-sia, membuat prestasi yang sangat kami banggakan," kata Mulyono.

Sebelumnya, dalam lomba Australian Army Skill at Arms Meeting (AASAM), perwakilan Indonesia mampu mengalahkan tim tuan rumah, Amerika Serikat, dan Inggris dengan nilai telak. Pada klasemen akhir, kontingen Indonesia berhasil mendapat 30 medali emas, 16 perak, dan 10 perunggu.

Sedangkan Angkatan Darat Australia, yang duduk di posisi dua, mengantongi 4 medali emas, 9 perak, dan 6 perunggu. Perwakilan Amerika Serikat yang bertengger di posisi ketiga mendapat 4 medali emas, 1 perak, dan 2 perunggu.

INDRA WIJAYA

Sumber : tempo.com


Sabtu, 29 Oktober 2016

Inilah Kekejaman PKI yang Membunuh Ribuan Rakyat Indonesia. Merinding Ceritanya.!

67 tahun sejak peristiwa pemberontakan PKI Madiun tahun 1948 dan kemudian berulang kembali peristiwa pemberontakan pada G30SPKI Tahun 1965, namun ancaman komunisme di Indonesia seakan sengaja dibiaskan. Bahkan beberapa pihak sempat mewacanakan agar pemerintah Indonesia harus meminta maaf terhadap kader-kader Partai Komunis Indonesia (PKI).

Berikut ini tulisan dari sejarawan bernama Agus Sunyoto yang mengungkapkan fakta sejarah bagaimana kebiadaban PKI dalam upaya melakukan makar dan pemberontakan, ribuan nyawa umat Islam Indonesia telah menjadi kurban, simbol-simbol Islam telah dihancurkan.

Kebiadaban PKI Madiun 1948 Terhadap Ulama NU
Tanggal 18 September 1948 pagi sebelum terbit fajar, sekitar 1500 orang pasukan FDR/PKI – 700 orang diantaranya dari Kesatuan Pesindo pimpinan Mayor Pandjang Djoko Prijono – bergerak ke pusat Kota Madiun. Kesatuan CPM, TNI, Polisi, aparat pemerintahan sipil terkejut ketika diserang mendadak. Terjadi perlawanan singkat di markas TNI, kantor CPM, kantor Polisi. Pasukan Pesindo bergerak cepat menguasai tempat-tempat strategis di Madiun. Saat fajar terbit, Madiun sudah jatuh ke tangan FDR/PKI. Sekitar 350 orang ditahan.

KEBERHASILAN FDR/PKI menguasai Madiun disusul terjadinya aksi penjarahan, penangkapan sewenang-wenang terhadap musuh PKI, menembak musuh PKI, kegemparan dan kepanikan pun pecah di kalangan penduduk, diiringi tindakan-tindakan bersifat fasisme yang berlangsung dengan mengerikan. Semua pimpinan Masyumi dan PNI ditangkap atau dibunuh. Orang-orang berpakaian Warok Ponorogo dengan senjata revolver dan kelewang menembak atau menyembelih orang-orang yang dianggap musuh PKI. Mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang jalan. Bendera merah putih dirobek diganti bendera merah berlambang palu arit. Potret Soekarno diganti potret Moeso. Seorang wartawan Sin Po yang berada di Madiun, menuliskan detik-detik ketika PKI pamer kekejaman itu dalam reportase yang diberi judul: ‘Kekedjeman kaoem Communist; Golongan Masjoemi menderita paling heibat; Bangsa Tionghoa “ketjipratan” djoega.’

Pada detik, menit dan jam yang hampir sama, di Kota Magetan sekitar 1.000 orang pasukan FDR/PKI – 700 orang diantaranya dari Kesatuan Pesindo pimpinan Mayor Moersjid — bergerak cepat menyerbu Kabupaten, kantor Komando Distrik Militer (Kodim), Kantor Onder Distrik Militer (Koramil), Kantor Resort Polisi, rumah kepala pengadilan, dan kantor pemerintahan sipil di Magetan. Sama dengan penyerangan mendadak di Madiun, setelah menguasai Kota Magetan dan menawan Bupati, Patih, Sekretaris Kabupaten, Jaksa, Ketua Pengadilan, Kapolres, komandan Kodim, dan aparat Kabupaten Magetan, terjadi aksi penangkapan terhadap tokoh-tokoh Masyumi dan PNI di kampung-kampung, pesantren-pesantren, desa-desa, pabrik gula, diikuti penjarahan, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan. Wartawan Gadis Rasid yang menyaksikan pembantaian massal di Gorang-gareng, Magetan, menulis reportase tentang kebiadaban FDR/PKI tersebut. Pembunuhan, perampokan dan penangkapan yang dilakukan FDR/PKI itu diberitakan surat kabar Merdeka 1 November 1948.

Meski tidak sama dengan aksi serangan di Madiun dan Magetan yang sukses mengambil alih pemerintahan, serangan mendadak yang sama pada pagi hari tanggal 18 September 1948 itu dilakukan oleh pasukan FDR/PKI di Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Purwodadi, Kudus, Pati, Blora, Rembang, Cepu. Sama dengan di Madiun dan Magetan, aksi serangan FDR/PKI meninggalkan jejak pembantaian massal terhadap musuh-musuh mereka. Antropolog Amerika, Robert Jay, yang ke Jawa Tengah tahun 1953 mencatat bagaimana PKI melenyapkan tidak hanya pejabat pemerintah, tapi juga penduduk, terutama ulama-ulama ortodoks, santri dan mereka yang dikenal karena kesalehannya kepada Islam: mereka itu ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang. Mesjid dan madrasah dibakar, bahkan ulama dan santri-santrinya dikunci di dalam madrasah, lalu madrasahnya dibakar. Tentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena ulama itu orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik yang tidak melawan. Setelah itu, rumah-rumah pemeluk Islam dirampok dan dirusak.
Tindakan kejam FDR/PKI selama menjalankan aksi kudeta itu menyulut amarah Presiden Soekarno yang mengecam tindakan tersebut dalam pidato yang berisi seruan bagi “rakyat Indonesia untuk menentukan nasib sendiri dengan memilih: ikut Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka-atau ikut Soekarno-Hatta, yang Insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia ke Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun juga. Presiden Soekarno menyeru agar rakyat membantu alat pemerintah untuk memberantas semua pemberontakan dan mengembalikan pemerintahan yang sah di daerah. Madiun harus lekas di tangan kita kembali.”

Seruan Presiden Soekarno disambut oleh Menteri Hamengkubuwono yang disusul sambutan Menteri Soekiman dan Jenderal Soedirman yang membacakan surat keputusan pengangkatan Mayor Jenderal Soengkono sebagai panglima militer Jawa Timur. Tanggal 23 September 1948 Menteri Agama KH Masjkoer mengucapkan pidato radio yang tegas menyebutkan bahwa tindakan merebut kekuasaan bertentangan dengan agama dan sama seperti perbuatan permusuhan orang-orang yang pro Belanda. Dengan janji-janji palsu rakyat dipengaruhi, dibujuk, dihasut, dipaksa dan dijadikan tameng oleh PKI Moeso.

Pidato Menteri Agama KH Masjkoer yang menyatakan bahwa rakyat dipengaruhi, dibujuk, dihasut, dipaksa dan dijadikan tameng oleh PKI Moeso tidak mengada-ada. Itu bukti sewaktu pidato Presiden Soekarno dicetak sebagai selebaran yang disebarkan kepada penduduk melalui pesawat terbang. Seketika – usai membaca selebaran berisi pidato Presiden Soekarno – penduduk yang dipersenjatai oleh PKI beramai-ramai meletakkan senjata. Mereka duduk di trotoar jalan dalam keadaan bingung. Mereka terkejut dan bingung sewaktu sadar bahwa gerakan yang mereka lakukan itu ternyata ditujukan untuk melawan Presiden Soekarno. Mereka pun mulai bertanya-tanya tentang siapa sejatinya Moeso yang mengaku pemimpin rakyat itu.
Sejarah mencatat, bahwa antara tanggal 18 – 21 September 1948 gerakan makar FDR/PKI yang dilakukan dengan sangat cepat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai pemberontakan. Sebab dalam tempo hanya tiga hari, FDR/PKI telah membunuh pejabat-pejabat negara baik sipil maupun militer, tokoh masyarakat, tokoh politik, tokoh pendidikan, bahkan tokoh agama. Dengan kekejaman khas kaum komunis – seperti kelak dipraktekkan lagi di Kampuchea

selama rezim Pol Pot berkuasa — bagian terbesar dari mayat-mayat yang dibunuh dengan sangat kejam oleh FDR/PKI itu dimasukkan ke dalam sumur-sumur “neraka” secara tumpuk-menumpuk dan tumpang-tindih. Sebagian lagi di antara tawanan FDR/PKI ditembak di “Ladang Pembantaian” di Pabrik Gula Gorang-gareng maupun di Alas Tuwa.

Setelah gerakan makar FDR/PKI berhasil ditumpas oleh TNI yang dibantu masyarakat, awal Januari tahun 1950 sumur-sumur “neraka” yang digunakan FDR/PKI mengubur korban-korban kekejaman mereka dibongkar oleh pemerintah. Berpuluh-puluh ribu masyarakat dari Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo, Trenggalek berdatangan menyaksikan pembongkaran sumur-sumur “neraka”. Mereka bukan sekedar melihat peristiwa langka itu, kebanyakan mereka mencari anggota keluarganya yang diculik PKI.

Diantara sumur-sumur “neraka” yang dibongkar itu, informasinya diketahui justru berdasar pengakuan orang-orang PKI sendiri. Dalam proses pembongkaran sumur-sumur “neraka” itu terdapat tujuh lokasi ditambah dua lokasi pembantaian di Magetan, yaitu: 1. sumur “neraka” Desa Dijenan, Kec.Ngadirejo, Kab.Magetan; 2. Sumur “neraka” I Desa Soco, Kec.Bendo, Kab.Magetan; 3. Sumur “neraka” II Desa Soco, Kec.Bendo, Kab,Magetan; 4. Sumur “neraka” Desa Cigrok, Kec.Kenongomulyo, Kab.Magetan, 5. Sumur “neraka” Desa Pojok, Kec.Kawedanan, Kab.Magetan; 6. Sumur “neraka” Desa Batokan, Kec.Banjarejo, Kab.Magetan; 7. Sumur “neraka” Desa Bogem, Kec.Kawedanan, Kab.Magetan; dan dua lokasi killing fields yang digunakan FDR/PKI membantai musuh-musuhnya, yaitu ruang kantor dan halaman Pabrik Gula Gorang-gareng dan Alas Tuwa di dekat Desa Geni Langit di Magetan.

Fakta kekejaman FDR/PKI dalam gerakan pemberontakan tahun 1948 disaksikan puluhan ribu warga masyarakat yang menonton pembongkaran sumur-sumur “neraka” itu, yang setelah diidentifikasi diperoleh sejumlah nama pejabat pemerintahan sipil maupun TNI, ulama, tokoh Masjoemi, tokoh PNI, Polisi, Camat, Kepala Desa, bahkan Guru. Berikut daftar sebagian nama-nama korban kekejaman FDR/PKI tahun 1948 yang diperoleh dari pembongkaran sumur “neraka” Soco I dan sumur “neraka” Soco II, yang terletak di Desa Soco, Kec. Bendo, Kab.Magetan:
SUMUR “NERAKA” SOCO I: 1. Soehoed, camat Magetan; 2. R. Moerti, Kepala Pengadilan Magetan; 3. Mas Ngabehi Soedibyo, Bupati Magetan; 4. R. Soebianto; 5. R. Soekardono, Patih Magetan; 6. Soebirin; 7. Imam Hadi; 8. R. Joedo Koesoemo; 9. Soemardji; 10. Soetjipto; 11. Iskak; 12. Soelaiman; 13. Hadi Soewirjo; 14. Soedjak; 15. Soetedjo; 16. Soekadi; 17. Imam Soedjono; 18. Pamoedji; 19. Soerat Atim; 20. Hardjo Roedino; 21. Mahardjono; 22. Soerjawan; 23. Oemar Danoes; 24. Mochammad Samsoeri; 25. Soemono; 26. Karyadi; 27. Soerdradjat; 28. Bambang Joewono; 29. Soepaijo; 30. Marsaid; 31. Soebargi; 32. Soejadijo. 33. Ridwan; 34. Marto Ngoetomo; 35. Hadji Afandi; 36. Hadji Soewignjo; 37. Hadji Doelah; 38. Amat Is; 39. Hadji Soewignyo; 40. Sakidi; 41. Nyonya Sakidi; 42. Sarman; 43. Soemokidjan; 44. Irawan; 45. Soemarno; 46. Marni; 47. Kaslan; 48. Soetokarijo; 49. Kasan Redjo; 50. Soeparno; 51. Soekar; 52. Samidi; 53. Soebandi; 54. Raden Noto Amidjojo; 55. Soekoen; 56. Pangat B; 57. Soeparno; 58. Soetojo; 59. Sarman; 60. Moekiman; 61. Soekiman; 62. Pangat/Hardjo; 63. Sarkoen B; 64. Sarkoen A; 65. Kasan Diwirjo; 66. Moeanan; 67. Haroen; 68. Ismail. ada sekitar 40 mayat tidak dikenali karena bukan warga Magetan.

SUMUR “NERAKA” SOCO II: 1. R. Ismaiadi, Kepala Resort Polisi Magetan; 2. R.Doerjat, Inspektur Polisi Magetan; 3. Kasianto, anggota Polri; 4. Soebianto, anggota Polri; 5. Kholis, anggota Polri; 6. Soekir, anggota Polri; 7. Bamudji, Pembantu Sekretaris BTT; 8. Oemar Damos, Kepala Jawatan Penerangan Magetan; 9. Rofingi Tjiptomartono, Wedana Magetan; 10. Bani, APP. Upas; 11. Soemingan, APP.Upas; 12. Baidowi; 13. Naib Bendo; 14. Reso Siswojo; 15. Kusnandar, Guru; 16. Soejoedono, Adm PG Rejosari; 17. Kjai Imam Mursjid Muttaqin, Mursyid Tarikat Syattariyah Pesantren Takeran; 18. Kjai Zoebair; 19. Kjai Malik; 20. Kjai Noeroen; 21. Kjai Moch. Noor.”

Tindak kebiadaban FDR/PKI selama melakukan aksi makarnya tahun 1948 yang disaksikan puluhan ribu penduduk laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak yang menonton pengangkatan jenazah para korban dari sumur-sumur “neraka” yang tersebar di Magetan dan Madiun, adalah rekaman peristiwa yang tidak akan terlupakan. Peristiwa pembongkaran sumur-sumur “neraka” itu telah memunculkan asumsi abadi dalam ingatan bawah sadar masyarakat bahwa PKI memiliki hubungan erat dengan pembunuhan manusia yang dimasukkan ke dalam sumur “neraka”. Itu sebabnya, ketika tanggal 1 Oktober 1965 tersiar kabar para jenderal TNI AD diculik PKI dan kemudian ditemukan sudah menjadi mayat di dalam sumur “neraka” Lubang Buaya di dekat Halim, amarah masyarakat seketika meledak terhadap PKI, termasuk di lingkungan aktivis Gerakan Pemuda Ansor yang sejak 1964 membentuk Barisan Ansor Serbaguna (Banser) di berbagai daerah yang dilatih kemiliteran karena memenuhi keinginan Presiden Soekarno membentuk kekuatan sukarelawan untuk mengganyang Malaysia, di mana anggota Banser yang emosinya tak terkendali – terutama setelah tewasnya 155 orang anggota Ansor Banyuwangi yang dibunuh PKI – dimanfaatkan oleh pihak militer untuk bersama-sama menumpas kekuatan PKI yang telah membunuh para jenderal mereka.

Artikel ini ditulis oleh Agus Sunyoto.
Pertama kali dimuat di buletin Risalah edisi 36 tahun IV 1433 H/ 2012 hal 24-29, dipublikasikan ulang oleh blog  remental.blogspot.co.id
Penulis adalah peneliti sejarah peristiwa Madiun 1948 yang diterbitkan dalam buku berjudul “LUBANG-LUBANG PEMBANTAIAN: GERAKAN MAKAR FDR/PKI 1948 DI MADIUN” (1990).
Penulis peneliti konflik Banser-PKI 1965 di Jawa Tengah yang diterbitkan dalam buku berjudul “BANSER BERJIHAD MENUMPAS PKI” (1995).
Penulis peneliti operasi Trisula 1966-1968 di Blitar yang dimuat bersambung di harian Jawa Pos September-Oktober 1995.

Sumber : islamedia

Jangan lupa share ke yang lain, agar kita tidak melupakan sejarah



Laksamana Muda Jhon Lie. Tionghoa Pertama yang Menjadi Pahlawan Nasional


Di kalangan masyarakat umum, bahkan termasuk warga Tionghoa sendiri, nama John Lie kurang dikenal. Orang tentu lebih kenal Laksamana Cheng Hoo, panglima armada Tiongkok sekaligus penyebar agama Islam di berbagai belahan dunia. Namun, di kalangan pelaut, TNI Angkatan Laut, Laksamana John Lie tank asing lagi. Bahkan, sebelum ditetapkan sebagai pahlawan nasional pun, John Lie sudah dianggap sebagai salah satu role model bagi pelaut-pelaut muda tanah air.

Nama John Lie, yang juga dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma, mulai banyak dibicarakan setelah adanya iklim keterbukaan pada era 2000-an. Ketika tahun baru Imlek dijadikan hari libur nasional, agama Khonghucu diakui (kembali), maka sejumlah aktivis Tionghoa mengusulkan agar John Lie dijadikan pahlawan nasional. Seminar-seminar pun digelar, buku tentang John Lie diterbitkan, dan media-media Tionghoa banyak memuat profil John Lie.

"Adanya pahlawan nasional dari etnis Tionghoa justru sangat penting bagi masyarakat Indonesia keseluruhan yang bisa melihat bahwa etnis Tionghoa itu sama dengan etnis lain, yakni sama-sama berjuang untuk kemerdekaan bangsa," ujar Dr Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Aswi termasuk cendekiawan yang banyak bicara di seminar dan menulis artikel-artikel tentang sosok John Lie.

John Lie lahir di Manado, Sulawesi Utara, 9 Maret 1911, dan meninggal di Jakarta pada 27 Agustus 1998. Almarhum menerima Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 Nopember 1995. Karena itu, John Lie dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Kebijakan politik Orde Baru yang tidak kondusif bagi warga Tionghoa membuat nama John Lie tenggelam. Jangankan mengusulkan putra pasangan suami-istri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio itu sebagai pahlawan nasional. Membicarakan jasa-jasa John Lie dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia saja tidak banyak dilakukan.

Awalnya, John Lie bekerja sebagai mualim kapal niaga milik Belanda, kemudian bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), sebelum diterima di Angkatan Laut RI. Semula dia bertugas di Cilacap dengan pangkat kapten. Di pelabuhan ini John berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi Sekutu. Atas jasanya, John dinaikkan pangkatnya menjadi mayor.

Sejak itu John Lie memperlihatkan kemampuannya sebagai pelaut dan patriot sejati. Pada awal kemerdekaan, 1947, John ditugaskan mengamankan pelayaran kapal-kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri.

Di antaranya, mengawal kapal pengangkut karet 800 ton untuk diserahkan kepada Utoyo Ramelan, kepala perwakilan RI di Singapura. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata-senjata itu diserahkan kepada pejabat di Sumatera seperti bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda.

Ingat, meski sudah merdeka pada 17 Agustus 1945, pasukan Belanda yang didukung Sekutu masih bercokol di Indonesia. Setelah Jepang kalah, Belanda ingin kembali menjajah Indonesia.

Nah, perjuangan John Lie dan kawan-kawan di kapal tidak ringan mengingat kapal-kapal AL Belanda rajin patroli. Belum lagi harus menghadapi gelombang samudra yang besar untuk ukuran kapal mereka yang belum secanggih saat ini.

Dalam operasi ini, John Lie mengemudikan kapal kecil cepat bernama The Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit John Lie melakukan 15 kali operasi 'penyelundupan'. Ketika membawa 18 drum minyak kelapa sawit, John sempat ditangkap perwira Inggris.

Di pengadilan Singapura, John dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Saat membawa senjata semiotomatis dari Johor (Malaysia) ke Sumatera, kapal John dihadang pesawat patroli Belanda. John Lie mengatakan, kapalnya sedang kandas.

Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap, mengarahkan senjata ke The Outlaw. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan The Outlaw tanpa insiden.

Jiwa patriotisme, cinta tanah air, membela negara, tak hanya diperlihatkan Laksamana Muda John Lie lewat kata-kata, tapi perbuatan. Sejak bergabung dengan TNI Angkatan Laut pada awal kemerdekaan, sebagian besar hidup John Lie dibaktikan kepada negara dan bangsanya di lautan.
Karena itu, John Lie yang dilahirkan di Manado, 9 Maret 1911, ini tidak suka dengan istilah 'pribumi' dan 'nonpribumi' yang dinilai hanya menyudutkan orang Tionghoa di Indonesia. Istilah 'nonpribumi' ada era Orde Baru selalu merujuk pada orang Tionghoa. Dan konotasinya selalu jelek. Nah, John Lie ini punya pandangan sendiri tentang pribumi dan nonpribumi.

"Siapakah orang pribumi dan nonpribumi itu? Orang pribumi adalah orang-orang yang jelas-jelas membela kepentingan negara dan bangsa. Sedangkan nonpribumi adalah adalah mereka yang suka korupsi, suka pungli, suka memeras dan melakukan subversi. Mereka itu sama juga menusuk kita dari belakang," kata John Lie seperti dikutip Mayor (P) Salim, komandan KRI Untung Suropati,dalam sebuah artikelnya.

Menurut John, orang yang tidak mementingkan atau membela nasib bangsa Indonesia--apa pun latar belakang suku, ras, etnis, agama--adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa. "Jadi, soal pribumi dan nonpribumi bukannya dilihat dari suku bangsa dan keturunan, melainkan dari sudut pandang kepentingan siapa yang mereka bela," tegasnya.

Laksamana Muda John Lie, menurut Mayor (P) Salim, terlibat aktif dalam sejumlah operasi penumpasan pemberontakan di dalam negeri seperti Republik Maluku Selatan (RMS), Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan PRRI/Permesta. Aksi separatis ini sangat mengganggu keutuhan Republik Indonesia yang usianya masih sangat hijau.

Pada 1 Mei 1950 Menteri Panglima AL Raden Soebijakto memerintahkan kapal perang AL untuk melaksanakan blokade di perairan Ambon. John Lie menjadi komandan kapal–kapal korvet RI Rajawali. Kemudian KRI Pati Unus dikomandani Kapten S Gino, KRI Hang Tuah dipimpin Mayor Simanjuntak. Pendaratan di Pulau Buru dilaksanakan pada 13 Juli 1950.

TNI AL mengerahkan kekuatan eskader-eskader di bawah komando Mayor Pelaut John Lie, dilanjutkan dengan pendaratan di Pulau Seram dan Pulau Piru. Melalui tiga titik pendaratan ini, yang dibantu kekuatan gabungan TNI, pasukan RMS pun terdesak. Pada 15 November 1950, operasi pembersihan RMS di Ambon dan sekitarnya selesai.

Pemberontakan DI/TII kali pertama muncul di Jawa Barat pada 1949 di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Namun, pengaruh DI meluas hingga ke Aceh pada 1950 dipimpin oleh Teuku Daud Beureuh dan di Sulawesi Selatan pada 1953 di bawah pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar. Untuk menumpas pemberontakan tersebut, Presiden Soekarno memerintahkan operasi militer dan operasi pemulihan keamanan yang melibatkan seluruh elemen pertahanan, termasuk TNI AL.

Nah, kapal TNI AL menggelar operasi patroli pantai dipimpin oleh Mayor (P) John Lie.
Pada 1958 pemerintah juga menggelar operasi untuk menumpas Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi. Operasi gabungan TNI ini dikomandani Kolonel Ahmad Yani, dengan wakil komandan Letkol (P) John Lie dan Letkol (U) Wiriadinata.

Dalam operasi ini TNI AL membentuk Amphibious Task Force-17 (ATF-17) yang dipimpin Letkol (P) John Lie, dan melibatkan KRI Gajah Mada, KRI Banteng, KRI Pati Unus, KRI Cepu, KRI Sawega, dan KRI Baumasepe, serta satu batalyon KKO (Marinir). Kapal-kapal melakukan bombardemen sekitar kota Padang dan kemudian mengadakan operasi pendaratan pasukan KKO.

Setelah operasi Permesta 1958-1959, John Lie dikirim ke India selama setahun untuk tugas belajar di Defence Service Staff College, Wellington. Pada 1960, John Lie diangkat menjadi anggota DPR Gotong Royong dari unsur TNI AL.

Kemudian, pada 1960–1966 John Lie menjabat kepala inspektur pengangkatan kerangka kapal di seluruh Indonesia. Sebelumnya, pada 5 Oktober 1961 Presiden Soekarno menganugerahkan tanda jasa kepahlawanan kepadanya.
======

Oleh LAMBERTUS HUREK
Note : Tulisan ini kami sadur dari Tulisan Bp. LAMBERTUS HUREK.


Jumat, 28 Oktober 2016

Menjadi Tentara. Dahulu Dihina, Sekarang Jadi Idaman Mertua

Soemohardjo seorang Mantri Guru di Bagelen punya beberapa anak yang belajar di sekolah berasrama OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) Magelang. Soemohardjo tentu akan bangga melihat anak-anaknya menjadi pegawai pangrehpraja alias pamong parja alias pegawai negeri sipil di masa pemerintahan kolonial.

Suatu hari, hari kabar buruk datang dari Magelang. Rupanya, Oerip anak tertuanya, yang ketika SD pernah mengepung Kampung Afrika yang berisi anak-anak serdadu di Purworejo, kabur dari OSVIA ke Betawi. Tujuannya adalah masuk sekolah perwira militer di Jatinegara. Remaja yang tabiatnya tak kenal takut dan keras kepala tentu merasa cocok jadi perwira. Soemohardjo senior pun syok dengan berita itu.

Menjadi serdadu di awal abad XX adalah kehinaan. Menurut Haji Daeng Mangemba, dalam bukunya Takutlah Pada Orang-orang Jujur (2002), bagi orang Bugis ada pantangan untuk menjadi serdadu Belanda yang disebut Tenguruk Soldadu. Pekerjaan itu biasanya tempat pelarian orang-orang miskin, putus asa, atau jagoan-jagoan yang hidupnya keras. Butuh waktu untuk berusaha menerima kenyataan, yang sebenarnya tak pahit-pahit amat itu. Soemohardjo akhirnya rela memberikan sangu, bahkan menghadiahi sepeda motor ketika Oerip sudah dilantik jadi letnan muda. 

Tak hanya Soemohardjo senior saja yang syok dan kesal ketika anaknya jadi militer kolonial, tapi juga ayah dari Gatot Subroto yang justru marah ketika anaknya masuk sekolah militer di Magelang untuk jadi sersan. Padahal kala itu, gaji sersan, apalagi letnan, tergolong tinggi.

Meski profesi militer (baca: tentara) dianggap hina, setidaknya 75 persen serdadu di militer Hindia Belanda --yang disebut Koninklijk Nederland Indische Leger (KNIL) --  adalah orang-orang pribumi. Mulai dari Jawa, Manado, atau Ambon. Menurut RP Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara (2003), pada 1916, terdapat 30.402 orang KNIL pribumi. Sebanyak 17 ribu di antaranya orang Jawa, lima ribu Manado dan empat  ribu Ambon. Jumlah serdadu pribumi itu terus bertambah, karena jumlah orang Belanda di Indonesia tak akan cukup menempati semua posisi kemiliteran. Alasan orang-orang pribumi Indonesia jadi tentara Belanda, biasanya untuk bertahan hidup karena tak semua orang Indonesia punya tanah untuk diolah.

“Saya menjadi KNIL karena urusan perut. Tampaknya beberapa rekan saya pun begitu. Mereka menjadi alat pemerintah kolonial bukan karena ideologi, tapi untuk memenuhi kebutuhan hidup,” ujar Didi Kartasasmita dalam biografinya yang ditulis Tatang Sumarsana, Didi Kartasasmita: Pengabdian bagi Kemerdekaan (1993).

Didi adalah seorang mantan perwira KNIL pribumi Indonesia, yang di masa kemerdekaan, juga salah satu pendiri Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hina hidupnya, kasar adabnya, liar kehidupan seksualnya. Begitulah KNIL.

Zaman Jepang Hampir 100 Ribu Tentara

Profesi tentara di Indonesia memasuki babak baru setelah kalahnya Hindia Belanda dan berkuasanya bala tentara Jepang. Dibukanya lowongan di Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di Jawa atau Gyugun di Sumatera, membuka mata orang Indonesia soal profesi militer. Zaman pendudukan yang susah sandang dan pangan, juga penuh doktrinasi perang melawan bangsa barat yang jelas dicap penjajah, menjadi alasan mengapa banyak pemuda bergabung sebagai tentara.

Menurut Amelia Yani, dalam biografi ayahnya,  Ahmad Yani Tumbal Revolusi (2007) yang ditulis anaknya, gaji seorang Letnan PETA kira-kira Rp6 di tahun 1944. Harga daging sekilo kala itu 6 sen. Tentu saja tak semua orang di zaman Jepang bisa beli daging. Beras saja sulit didapat. Banyak orang Indonesia terpaksa makan tikus yang menjijikkan. Baju saja terpaksa dari karung goni.  Jadi tentara menjadi jalan keluar dari kelaparan di zaman pendudukan Jepang.

Budaya militerisme yang ditanamkan Jepang tak hanya diberikan pada pemuda-pemuda di Heiho, PETA atau Gyugun saja, tapi juga di organisasi sipil dan di sekolah-sekolah. Anak-anak dibiasakan untuk menyaksikan gagah-gagahan tentara dan juga baris berbaris. Propaganda soal membela tanah air, untuk kepentingan Jepang, ditanamkan begitu kuat. Militer Jepang di Indonesia, sepanjang 1942 hingga 1945, telah berhasil meyakinkan orang-orang Indonesia yang semula memandang rendah profesi tentara jadi berbalik.

Jumlah orang-orang Indonesia yang menjadi PETA di Jawa, menurut Joyce Lebra, dalam Tentara Gemblengan Jepang (1988), mencapai 33 ribu orang. Di Sumatera saja, diperkirakan 20-an ribu pemuda telah dilatih militer sebagai tentara sukarela yang disebut Gyugun. Jangankan tentara sukarela, pembantu tentara yang disebut Heiho juga diminati. Heiho lebih dulu ada ketimbang  PETA dan Gyugun. Menurut catatan Marwati Djuned dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6 (1977), terdapat 42 ribu orang Indonesia yang menjadi Heiho yang tersebar di Indonesia dan sekitar front Pasifik.

Menurut Mestika Zed dalam bukunya Gyugun Cikal-Bakal Tentara Nasional di Sumatera (2005), pusat pendidikan perwira didirikan di Lahat, Medan, Padang dan Aceh, sejak Oktober 1943. Jepang melatih orang-orang ini untuk menjaga obyek-obyek vital di Sumatera. PETA juga menjaga instalasi semacam itu, sehingga mereka ditempatkan di keresidenan-keresidenan di Jawa. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, mantan Gyugun menjadi pemimpin-pemimpin militer di Sumatera. Begitu juga dengan PETA di Jawa.

Jika di zaman Hindia Belanda sekitar 30 ribu, maka di zaman pendudukan Jepang yang hanya tiga tahun, jumlahnya meningkat. Jika ada 33 ribu PETA di Jawa, ditambah 20 ribu Gyugun di Sumatera dan ditambah 42 ribu Heiho, maka terdapat 95 ribu orang Indonesia jadi anggota militer.

Pangkat Idaman Calon Mertua 

Setelah kemerdekaan, jumlah anggota makin meningkat hingga ratusan ribu. Pada masa revolusi, banyak orang memegang senjata dan berbaju hijau, baik yang pernah jadi militer Belanda atau tentara sukarela buatan Jepang. Bahkan mereka yang tak pernah latihan militer pun terpaksa pegang senjata karena selain untuk melawan tentara Jepang, Belanda dan juga Inggris, mereka bangga disebut pejuang. Tak hanya yang jadi Tentara Keamanan Rakyat yang belakangan jadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), tapi juga yang bergabung dengan laskar. Mereka inilah yang membiasakan dan meyakinkan masyarakat agar merasa bahwa menjadi tentara itu gagah.

Setelah Belanda angkat kaki pada Desember 1950, banyak pemuda yang terbiasa memegang senjata dan memakai seragam militer.  Mereka enggan kembali ke kehidupan masyarakat sipil. Bahkan ngotot ingin jadi tentara, walaupun tidak memenuhi syarat seperti yang ditentukan Nasution dan kawan-kawan petinggi militernya yang ingin jumlah tentara sedikit tapi efisien.

Bekas pejuang pun muncul dari kalangan pendukung pemberontakan. Seperti yang dipimpin Ibnu Hajar, Kahar Muzakkar, Andi Sose, Usman Balo dan lainnya.  Orang-orang ini sejatinya diterima masuk tentara, namun banyak anak buah mereka yang ditolak. Mereka rela jadi tentara walau pangkatnya hanya prajurit.

Menurut Anhar Gonggong, ada tiga pangkat idaman calon mertua di tahun 1950-an yakni kopral, sersan, dan sersan Mayor.  Padahal pangkat-pangkat tersebut masih di bawah pangkat perwira.

Kini, meski banyak profesi dengan bayaran lebih menggiurkan dibanding tentara, animo pemuda untuk menjadi tentara tetap besar. Meski gaji tidak besar, setidaknya jaminan hari tua menjadi hal yang cukup menarik. Tak perlu heran jika sering muncul kabar tentang sebuah keluarga yang menjual tanah dan ternaknya untuk memasukkan anaknya menjadi tentara. Meski pangkatnya rendah, tetapi keluarganya akan dihormati. 

Jumlah personel tentara di Indonesia pun terus meningkat. Menurut Military Strength of Indonesia yang dirilis  GlobalFirepower.com pada 2015, militer Indonesia memiliki 476 ribu personil aktif dan 400 ribu personil cadangan. Total mencapai 1,1 juta personil di seluruh angkatan. Tentu saja pemerintah dan TNI tak perlu khawatir mencari calon anggota tentara. Sumber daya manusia Indonesia, juga animo masyarakat masih besar untuk menjadi tentara.
(pet/nqm) 

SUMBER : Tirto.co.id


Silahkan di share